UNTUK MENCAPAI TUJUAN PENGELOLAAN HUTAN, KLASIFIKASI HUTAN PERLU DIREVISI[1]
Wiryono
Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu
PENDAHULUAN
Hutan di Indonesia, menurut UU no 41 tahun 1999, dibagi menjadi tiga berdasarkan fungsinya, yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Sebuah adagium menyatakan bahwa klasifikasi suatu bidang mencerminkan kemajuan suatu ilmu di bidang tersebut. Semakin maju suatu bidang ilmu, klasifikasi bidang yang dipelajarinya menjadi semakin rinci. Klasifikasi juga mencerminkan tujuan pengelolaan. Dalam suatu organisasi, pembagian bidang disesuaikan dengan tujuan organisasi tersebut. Klasifikasi hutan ke dalam tiga fungsi mencerminkan tujuan pengelolaan hutan di Indonesia. Klasifikasi hutan secara ekologis tentu saja berbeda dari klasifikasi hutan secara legal, karena tujuannya berbeda, yaitu untuk ilmu pengetahuan.
Pertanyaannya adalah, apakah klasifikasi hutan di Indonesia sudah tepat? Apakah tujuan pengelolaan hutan menjadi lebih mudah dicapai dengan klasifikasi hutan kita?
FUNGSI EKOLOGIS DARI HUTAN
Hutan memiliki banyak fungsi. Pada zaman modern, salah satu fungsi hutan yang paling menonjol adalah penghasil kayu. Oleh karena itu salah satu tujuan utama pengelolaan hutan adalah untuk menghasilkan kayu secara lestari (sustained yield prinsip). Dalam perkembangan selanjutnya semakin banyak fungsi hutan yang mendapat perhatian, antara lain sebagi pengatur tata air, sebagai habitat satwa dan tumbuhan liar, sebagai tempat rekreasi, dan pengatur iklim. Fungsi yang terakhir ini sekarang mendapat perhatian paling besar seiring dengan terjadinya perubahan iklim.
Jika diringkas, fungsi-fungsi hutan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu fungsi produksi, fungsi social dan fungsi ekologi. Ketiga fungsi inilah yang digunakan oleh lembaga penilai independen untuk menilai apakah hutan telah dikelola secara berkelanjutan. Di dalam UU 41 tahun 1999, fungsi ekologi dipecah menjadi dua, yaitu fungsi lindung dan fungsi konservasi. Apa sebenarnya arti perlindungan dan konservasi?
Secara etimologi, konservasi berasal dari to conserve, yang berarti: 1) to use as little of something as possible so that it last long (menggunakan sesuatu sedikit mungkin sehingga ia dapat bertahan lama), 2) to protect something and prevent it from being changed or destroyed (melindungi sesuatu dan mencegahnya dari perubahan dan kerusakan) (Oxford Advanced learner’s dictionary). Dalam pengertian yang pertama, konservasi berarti penghematan. Pengertian ini dipakai dalam istilah konservasi air (water conservation). Pengertian kedua memiliki arti yang serupa dengan perlindungan. Menurut The Harper Collins dictionary of environmental science, conservation: the management, protection and preservation of natural resources and environment. Dalam pengertian ini, konservasi mencakup arti yang luas, yang mencakup pengelolaan, perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan.
Kementerian Kehutanan mencoba memisahkan pengertian istilah perlindungan dan konservasi. Hutan lindung dimaksudkan untuk melindungi system penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah, sementara hutan konservasi untuk melindungi keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya[2]. Sejalan dengan itu, unit pelaksana teknis kementerian kehutanan di daerah, yang sebelumnya bernama Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah diubah menjadi Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Pembatasan penggunaan istilah konservasi hanya pada keragaman hayati dan eskosistemnya oleh Kementerian Kehutanan ini kurang memiliki dasar yang kuat.
Menurut sejarah, konservasi tanah lebih dulu dilaksanakan daripada konservasi keragaman hayati. Konservasi tanah di AS dimulai pada akhir dasawarsa tahun 1930an setelah terjadinya bencana badai debu (dust bowl) yang dahsyat, akibat terkelupasnya lapisan permukaan tanah yang kemudian diterbangkan angin. Kejadian tersebut menyadarkan orang perlunya mengkonservasi tanah melalui penutupan dengan vegetasi. Isu keragaman hayati baru menjadi pusat perhatian pada dasawarsa 1980an. Dalam kamus Oxford terbitan tahun 1974, belum ada lemma (entry) biodiversity, tetapi pada terbitan tahun 2000 sudah ada kata biodiversity. Sampai pada akhir dasawarsa 1990an kalau kita mengetik kata biodiversity, spelling check di computer masih belum mengenali kata tersebut. Meskipun gerakan perlindungan satwa dan tumbuhan sudah dimulai pada Abad 19, namun yang menjadi kepedulian adalah jenis-jenis tertentu saja, dan gerakan tersebut merupakan bagian dari gerakan perlindungan monument alam (Jepson and Whittaker, 2002).
KLASIFIKASI HUTAN MENURUT UU NO 5 TAHUN 1965 DAN UU NO 41 TAHUN 1999
Klasifikasi hutan menurut UU no 41 tahun 1999 juga berbeda dari klasifikasi hutan sebelumnya menurut UU no 5 tahun 1967 (Lihat Tabel 1 dan 2). Di dalam klasifikasi tahun 1965, hutan dibagi menjadi 4 kategori, yaitu hutan produksi, hutan lindung, hutan suaka alam dan hutan wisata alam. Dalam UU no 41 tahun 1999, hutan suaka alam dan hutan wisata alam digabungkan menjadi satu kategori yaitu, hutan konservasi, yang kemudian dibagi lagi menjadi sub-kategori, lalu dibagi lagi menjadi sub-sub kategori.
Tabel 1. Klasifikasi hutan menurut UU no 5 tahun 1967
Kategori | Sub kategori | Fungsi |
1. Hutan Produksi | Produksi hasil hutan | |
2. Hutan lindung | Pengaturan tata air, pencegahan banjir dan erosi, penjagaan kesuburan tanah | |
3. Hutan Suaka alam | a. Cagar alam | Perlindungan alam yang khas, untuk ilmu pengetahuan dan budaya |
b. Suaka margasatwa | Perlindungan tempat hidup satwa, untuk ilmu pengetahuan, budaya dan kebanggaan nasional | |
4. Hutan wisata | a. Taman wisata | Perlindungan keindahan alam, untuk rekreasi dan budaya |
b. Taman buru | penyediaan tempat perburuan |
Tabel 2. Klasifikasi hutan menurut UU no 41 tahun 1999
Kategori | Sub-kategori | Sub-sub-kategori | Fungsi |
1. Hutan Produksi | Produksi hasil hutan | ||
2. Hutan lindung | perlindungan system penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. | ||
3. Hutan konservasi | a. Ht. suaka alam | i. Cagar alam | pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.*1) |
ii. Suaka marga satwa | |||
b. Hut.Peles-tarian alam. | i. Taman nasional | perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.*1) | |
ii. Taman hutan raya | |||
iii. Taman wisata alam | |||
c. Taman buru | |||
Catatan:1) Fungsi KSA dan KPA di atas diambil dari Pasal 1 UU no 41 tahun 1999. Namun di dalam Pasal 4 PP no 68 tahun 1998, KSA dan KPA memiliki fungsi yang sama.
Apakah pembagian hutan konservasi ke dalam sub-sub kategori yang rinci ini menandakan kemajuan ilmu atau manajemen konservasi di Indonesia?
KELEMAHAN KLASIFIKASI HUTAN KONSERVASI DI INDONESIA
Jika kita teliti pasal-pasal dalam UU no 41 tahun 1999 dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait tentang konservasi dan perlindungan yaitu UU no 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, PP no 68 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, dan Keppress no 32 tahun 1990 tentang pengelolaan Kawasan Lindung, kita akan menemukan kekacauan dalam klasifikasi tersebut. Kekacauan dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu penggunaan istilah yang satu sama lain sulit dibedakan, penggunaan istilah yang kurang tepat atau kurang dimengerti masyarakat, dan ketidaksinkronan antar pasal dalam satu peraturan dan antara peraturan yang satu dengan yang lain.
Penggunaan istilah-istilah yang sulit dibedakan maknanya
Contoh istilah yang sulit dibedakan artinya adalah kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA). Secara bahasa, kawasan suaka alam adalah kawasan yang memberi suaka (perlindungan) terhadap alam, sehingga alam akan terjaga dan lestari. Secara bahasa, kawasan pelestarian alam adalah kawasan untuk melestarikan alam. Dari sudut bahasa, kedua kawasan itu kurang lebih memiliki arti yang sama. Bahkan di di dalam Pasal 4 PP no 68 tahun 1998 disebutkan bahwa keduanya memiliki fungsi yang sama persis:
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dilakukan sesuai dengan
fungsi kawasan:
a. sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa beserta
ekosistemnya;
c. Untuk pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
(Pasal 4, PP no 68 tahun 1998).
Kalau KSA dan KPA memiliki arti yang serupa menurut bahasa dan memiliki fungsi yang sama persis menurut peraturan pemerintah, mengapa kedua kawasan itu harus dipisahkan menjadi dua sub-kategori?
Di dalam peraturan perundang-undangan tentang konservasi ada beberapa istilah yang memerlukan penjelasan karena istilah-istilah tersebut kurang lebih artinya serupa dalam pengertian orang awam, yaitu konservasi, perlindungan, pelestarian, pengawetan, suaka dan cagar. Menurut Kamus Konservasi Sumber Daya Alam (Dewobroto, dkk, 1995, hal 65) yang merupakan hasil kerjasama antara Direktorat Jenderal PHPA dan Pusat Pembinaan Bahasa, istilah konservasi merupakan padanan kata dari istilah conservation yang diartikan sebagai “upaya pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana dengan berpedoman kepada asas pelestarian”. Tetapi kamus yang sama, juga menyebutkan bahwa istilah pelestarian merupakan padanan dari istilah conservation (hal. 71). Jadi kamus tersebut menerjemahkan istilah conservation menjadi a) konservasi atau b) pelestarian (lihat juga daftar padanan kata di hal. 136), tetapi kamus tersebut memberi definisi yang berbeda untuk istilah konservasi dan pelestarian. Menurut pakar ekologi Indonesia, Otto Soemarwoto (1997), istilah conservation lebih tepat diartikan sebagai pencagaran.
Kebingungan memaknai istilah-istilah di atas juga tercermin dalam penamaan lembaga yang mengurusi konservasi. Pada awalnya lembaga itu bernama (Direktorat) PPA (Perlindungan dan Pebgawetan Alam), lalu berubah menjadi (Direktorat Jenderal) PHPA, Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, kemudian berubah menjadi (Direktorat Jenderal) PKA, Perlindungan dan Konservasi Alam, dan akhirnya menjadi (Direktorat Jenderal) PHKA, Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Mengapa namanya berubah-ubah dengan menggunakan istilah-istilah yang artinya kurang lebih serupa?
Ada beberapa alternative penyelesaian untuk mengatasi kesulitan Kementerian Kehutanan dalam memaknai atau mendefinisikan istilah-istilah yang serupa ini. Alternatif pertama adalah menganggap istilah-istilah tersebut sama, atau merupakan sinonim satu sama lain. Alternatif ini akan menyederhanakan manajemen kawasan dan memudahkan sosialisasi ke masyarakat awam. Di luar instansi kehutanan, masyarakat tidak dapat membedakan hutan lindung dan hutan konservasi. Alternatif kedua adalah membuat definisi yang jelas dapat membedakan antara istilah yang satu dengan yang lain. Alternatif kedua ini mungkin dapat digunakan untuk kalangan terbatas, yaitu pemerhati konservasi, tetapi akan sulit untuk disosialisaikan ke masyarakat awam. Alternatif ketiga adalah gabungan dari kedua alternative di atas: sebagian istilah dianggap sinonim, sebagian lagi dibedakan dengan definisi yang jelas bedanya.
Ketidaksinkronan peraturan
Kelemahan kedua dari klasifikasi hutan konservasi dan aturannya adalah ketidaksinkronan antar pasal-pasal dalam peraturan yang sama dan antara satu peraturan dengan peraturan yang lain. Misalnya, dalam Pasal 4 PP no 68 tahun 1998 yang disadur di atas, jelas sekali KSA dan KPA memiliki fungsi yang persis sama. Pasal ini bertentangan dengan Pasal 1 di PP yang sama dan Pasal 1 di UU no 41 tahun 1999, dan pasal 1 UU no 5 tahun 1990. Dalam Pasal 1 dari PP dan UU di atas, KSA dan KPA didefinisikan sebagai berikut.
Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga
kehidupan.
Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di
perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
Definisi di atas menunjukan bahwa fungsi KSA dan KPA berbeda. KSA memiliki dua fungsi sedangkan KPA tiga fungsi. Yang membedakan antara KSA dan KPA adalah tidak adanya pemanfaatan sumber daya alam di KSA, sedangkan di dalam KPA diperbolehkan. Benarkah di KSA tidak diperbolehkan adanya pemanfaatan? Dalam pasal 20 s.d. 29 PP no 68 tahun 1998 dijelaskan pemanfaatan KSA (Cagar Alam dan Suaka Margasatwa), meskipun memang pemanfaatannya bukan untuk konsumsi atau diperdagangkan tetapi terbatas pada kegiatan penelitian, pengetahuan, pendidikan dan penunjang budidaya.
Ketidaksinkronan juga terjadi antara satu peraturan dan peraturan yang lain. Misalnya, kawasan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam menurut PP no 68 tahun 1998 dan UU no 5 tahun 1990 termasuk dalam Kawasan Pelestarian Alam, sedangkan di dalam Keppress no 32 tahun 1990, ketiganya termasuk dalam Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya. Keppres no 32 tahun 1990 tidak mengenal Kawasan Pelestarian Alam. (Lihat diskusi yang lebih rinci dalam Wiryono, 2003).
Penggunaan istilah yang kurang tepat atau kurang dimengerti masyarakat
Di dalam kawasan pelestarian alam ada satu sub-sub-kategori yang sangat penting yaitu Taman Nasional. Beberapa taman nasional di Indonesia bahkan telah ditetapkan sebagai World Heritage Site. Mestinya masyarakat bangga dengan status yang sangat prestisius ini. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masyarakat awam tidak mengerti arti taman nasional. Menurut Kamus umum Bahasa Indonesia (Purwodarminto, 1982), taman adalah: 1) sebangsa kebun yang ditanami dengan bunga-bungaan dan sebagainya (tempat bersenang-senang), 2) kiasan: tempat yang menyenangkan. Dari sudut bahasa, taman nasional memiliki arti sebagai suatu kebun sebagai tempat rekreasi bertaraf nasional di mana orang bersenang-senang. Pengertian ini tidak salah. Dalam kamus Oxford, national park: an area of land that is protected by the government for people to visit because of its natural beauty and historical or scientific interest (suatu kawasan lahan yang dilindungi oleh pemerintah untuk dikunjungi masyarakat karena keindahan alamnya dan kepentingan sejarah atau ilmiahnya). Dalam The Harper Collins dictionary of environmental science, taman nasional didefinisikan sebagai an extensive tract of land of outstanding natural beauty, reserved primarily for conservation of flora, fauna and scenery and to a lesser extent for public recreation (suatu bidang lahan luas yang memiliki keindahan alami yang luar biasa, yang dicadangkan terutama untuk konservasi flora, fauna dan pemandangan, dan sebagian kecil untuk rekreasi public). Menurut IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources, sekarang menjadi World Conservation Union), pada tahun 1978 dan 1984 taman nasional didefinisikan sebagai kawasan lindung yang bertujuan to protect outstanding natural and scenic areas of national or international significance for the scientific, educational and recreational use (untuk melindungi wilayah alami yang luar biasa indah yang memiliki arti penting secara nasional atau internasional untuk penggunaan ilmiah, pendidikan dan rekreasi, McKinnon et al, 1986). Pada tahun 1994 IUCN mengadakan revisi klasifikasi kawasan lindung dan menghilangkan ciri keindahan alam dalam pengertian taman nasional, tetapi masih mempertahankan salah tujuan taman nasional sebagai tempat rekreasi[3].
Hampir semua definisi di atas, selain definisi IUCN yang terbaru, menujukkan bahwa taman nasional adalah kawasan yang sangat indah dan menjadi tempat rekreasi. Taman nasional pertama di dunia (ditetapkan tahun 1872) Yellowstone National Park[4] di Amerika Serikat ditetapkan bukan untuk melindungi keragaman hayati, tetapi melindungi keindahan alam yang luar biasa. Motivasi yang mendasari ditetapkannya taman-taman nasional di AS adalah keinginan bangsa Amerika Serikat untuk menemukan kebanggaan nasional. Tidak seperti bangsa Eropa yang memiliki bangunan-bangunan kuno yang menjadi landmark dan kebanggan nasional, bangsa Amerika Serikat tidak memiliki bangunan kuno tersebut. Yang mereka miliki bukanlah monument buatan manusia, tetapi monument alam berupa gunung yang menjulang tinggi, ngarai yang terjal, air terjun raksasa, dsb. Monumen alam itulah yang dilindungi dan dijadikan taman nasional (Runte, 1987; Jepson and Whittaker, 2002). Untuk mendapatkan dukungan masyarakat dalam penetapan TN Yellowstone, kampanye besar-besaran dilakukan dengan melibatkan para penulis, juru foto dan pelukis yang menggambarkan keindahan alam taman tersebut.
Sejarah pendirian taman nasional di Indonesia sangat berbeda dengan di AS. Di Indonesia, istilah taman nasional belum dikenal sampai menjelang dasawarsa 1980an, meskipun kegiatan perlindungan alam sebenarnya sudah dilakukan sejak zaman pemerintahan colonial Hindia Belanda. Pada tahun 1921 Ujung Kulon ditetapkan sebagai cagar alam dan pada tahun 1923 Cagar Alam Lorentz ditetapkan. Pencalonan kawasan nasional baru dilakukan ketika Indonesia menjadi tuan rumah Konggres Taman Nasional Sedunia di Bali pada tahun 1982. Dua tahun sebelumnya, pada tahun 1980 beberapa lembaga konservasi internasional merumuskan World Conservation Strategy yaitu: memelihara proses ekologi yang esensial dan sistem penyangga kehidupan, mengawetkan keanekaragaman jenis dan menjamin pemanfaatan secara lestari jenis dan ekosistemnya. Ketiga strategi inilah yang diadopsi pemerintah Indonesia dalam merumuskan fungsi KSA dan KPA (lihat Pasal 4 PP no 68 tahun 1998 yang dikutip sebelumnya) di mana salah satu bagiannya adalah taman nasional. Dalam UU no 5 tahun 1990 dan PP no 68 tahun 1998, Kawasan Taman Nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
Dengan penekanan pada konservasi keragaman hayati dan ekosistem, maka penunjukkan taman nasional di Indonesia tidak mempertimbangkan keindahan alam. Kriteria taman nasional dalam PP no 68 tahun 1998 tidak memasukkan aspek keindahan alam. Sebagian besar taman nasional di Indonesia berupa hutan yang bagi orang luar Jawa bukanlah tempat yang sangat indah untuk berekreasi. Jadi istilah taman nasional di Indonesia kurang tepat dengan kondisi yang ada di lapangan, di luar Jawa. Dengan sedikitnya rekreasi di taman nasional di luar jawa, maka penduduk local dan pemerintah daerah tidak mendapatkan keuntungan ekonomi dari keberadaan taman nasional sehingga bagi masayarakat local dan pemerintah daerah taman nasional dianggap sebagai kendala pembangunan ekonomi. Tidak ada kebanggaan bagi masyarakat memiliki taman nasional. Bagi masyarakat Jawa yang padat penduduk dan banyak yang tinggal di kota, hutan memang telah menjadi tempat yang indah untuk berekreasi, sehingga masyarakat dan pemerintah daerah mendapat keuntungan ekonomi dari kegiatan pariwisata.
IMPLEMENTASI KLASIFIKASI HUTAN LINDUNG DAN HUTAN KONSERVASI
Klasifikasi hutan konservasi yang sarat dengan kelemahan secara teoritis, dalam impelementasinya di lapangan memiliki banyak problem. Beberapa di antarnya adalah sebagai berikut. Pertama, selain orang kehutanan, orang Indonesia tidak dapat membedakan antara hutan konservasi dan hutan lindung. Pembagian hutan konservasi menjadi KSA dan KPA, dan pembagian lebih lanjut dari KSA dan KPA ke dalam sub-sub kategori beserta fungsi dan kriterianya masing-masing tentu lebih sulit difahami oleh masyarakat, bahkan juga oleh orang kehutanan sendiri! Kriteria dan fungsi masing-masing kawasan yang tidak jelas akan menyulitkan pencapaian tujuan pengelolaan masing-masing kategori kawasan hutan tersebut.
Kedua, di dalam sosialisasi ke masyarakat tentang pentingnya hutan konservasi, petugas BKSDA maupun balai taman nasional menekankan pentingnya hutan untuk melindungi daerah resapan air agar sawah-sawah tetap mendapat pengairan dan banjir dapat dihindari. Apa yang disampaikan oleh petugas kehutanan tersebut adalah fungsi hutan lindung dalam UU 41. Jadi dalam prakteknya, petugas kehutanan menyamakan fungsi hutan konservasi dan hutan lindung.
Ketiga, criteria kawasan suaka alam dan pelestarian alam seringkali sulit ditemui. Menurut PP 68 tahun 1998, KPA dan KSA memiliki ciri khas tertentu sehingga perlu dilindungi. Dalam prakteknya, petugas BKSDA kesulitan menemukan ciri khas tersebut. Kawasan yang ditunjuk menjadi KSA dan KPA seringkali tidak berbeda jauh dengan kawasan lainnya. Kekhasannya mungkin sudah hilang karena perambahan hutan, tetapi mungkin juga tidak pernah ada sejak penunjukkan dilakukan. Saat ini ketika tuntutan revisi kawasan hutan menguat, petugas BKSDA akan kesulitan untuk mempertahankan KSA dan KPA.
REVISI KLASIFIKASI HUTAN
Agar tujuan pengelolaan hutan dapat tercapai, kllasifikasi hutan di Indonesia harus direvisi. Ada beberapa prinsip yang harus dipertimbangkan dalam revisi klasifikasi kawasan hutan. Pertama, klasifikasi harus didasarkan pada fungsi hutan dan tujuan pengelolaannya. Fungsi kawasan dan tujuan pengelolaan tersebut harus sesuai satu sama lain dan dirumuskan dengan jelas. Misalnya hutan yang dari keadaan alamnya berfungsi untuk perlindungan daerah resapan air, maka tujuan pengelolanya adalah melindungi daerah resapan air. Kegiatan yang diizinkan dilakukan di kawasan tersebut harus mendukung perlindungan terhadap fungsi kawasan tersebut dan pencapaian tujuan pengelolaan. Tujuan yang bersifat abstrak, seperti melindungi system penyangga kehidupan sebaiknya dihindari. Pengertian system penyangga kehidupan memerlukan penjelasan lebih lanjut, sementara dalam prakteknya tujuan tersebut dapat dicapai dengan melindungi tutupan hutan.
Secara alami, hutan memiliki banyak fungsi. Dalam satu kategori kawasan, beberapa fungsi dan tujuan dapat dicapai sekaligus, tetapi dengan prioritas yang berbeda. Misalnya, hutan produksi memiliki fungsi utama untuk memproduksi hasil hutan, tetapi sampai tingkat tertentu juga memiliki fungsi perlindungan bagi satwa liar dan tata air. Sebaliknya, hutan lindung memiliki fungsi utama untuk memberikan perlindungan alam, tetapi juga dapat memproduksi hasil hutan non kayu. Dalam klasifikasi hutan yang baru dapat dibuat matrik fungsi kawasan dan tujuan pengelolaan.
Kedua, penamaan suatu kategori kawasan harus menggunakan istilah yang mencerminkan fungsi kawasan dan tujuan pengelolaannya, mudah difahami dan dapat dibedakan antara satu kategori dan kategori lainnya dengan jelas. Contoh istilah yang mudah difahami adalah suaka margasatwa, yang berarti bahwa kawasan ini memiliki tujuan utama sebagai tempat perlindungan bagi margasatwa yang mungkin terancam jika tidak dilindungi. Kejelasan ini penting sekali bagi pimpinan dan petugas lapangan dalam merencanakan kegiatan, melaksanakannya di lapangan dan mensosialisasikannya ke masyarakat. Klasifikasi yang sekarang ini, seperti yang dijelaskan di muka, menggunakan istilah yang sulit dibedakan satu sama lain dan tidak difahami masyarakat.
Ketiga, klasifikasi hutan harus logis, sederhana dan mudah difahami. Klasifikasi hutan konservasi yang ada sekarang tidak logis dan terlalu rumit sehingga sulit difahami. Akibatnya, tujuan pengelolaan tidak tercapai.
Keempat, klasifikasi harus konsisten dengan klasifikasi ruang. Selain kawasan hutan, kita juga memiliki kawasan lindung yang juga mencakup kawasan hutan. Oleh karena itu, klasifikasi kawasan hutan harus konsisten dengan tata ruang. Istilah yang dipakai harus memiliki arti yang sama dan difahami oleh semua pihak.
Dengan adanya revisi klasifikasi kawasan hutan, tentu undang-undang kehutanan dan peraturan di bawahnya harus diubah, sesuai dengan klasifikasi yang baru. Dalam revisi tersebut perlu dilibatkan orang-orang yang berfikir sistematis dan logis sehingga ketidaksinkronan antar pasal dalam peraturan yang sama dan antara satu peraturan dan peraturan yang dan dapat dihindari.
DAFTAR PUSTAKA
Dewobroto, K.K, Kartiko, K.Kadarsin, M.Soekarno dan Soemarsono. 1995. Kamus konservasi sumberdaya alam. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta
IUCN. 1994. Guidelines for protected area management categories
Jepson, P. R. Whittaker. 2002. History of protected areas: Internationalisation of conservationists values and their adoption in the Netherlands Indies (Indonesia). Environment and History 8:129-72.
McKinnon, J., K.McKinnon, G. Child and J. Thorsel. 1986. Managing protected areas in the tropics. IUCN. Gland.
Runte,A. 1987. National parks. The American experience. University of Nebraska Press. Lincoln and London.
Soemarwoto, O. 1997. Ekologi,lingkungan hidup dan pembangunan. Penerbit Djambatan. Jakarta
Wiryono. 2002. Low appreciation of conservation and the disastrous results. The Jakarta Post. March, 2002.
Wiryono. 2003. Klasifikasi kawasan konservasi. Warta kebijakan no 11. Center for International Forestry Research . Bogor.
Kamus:
Oxford advance learner’s dictionary. 2000. Oxford.
Jones, G. A. Robertson, J.Forbes and G.Hollier.1992. The Harper Collins Environmental science dictionary. Harper Pewreenial.
Purwodarminto, W.J.S. 1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Pn Balai Pustaka. Jakarta.
Peraturan perundang-undangan
Undang-Undang no 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan
Undang Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam.
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa
Keppres no 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
[1] Makalah disampaikan di rapat Forum Pimpinan Lembaga Pendidikan Tinggi Kehutanan (ForEtika) di Riau, Juli 2010.
[2] Penggunaan kata “nya” di sini sebenarnya tidak tepat, karena kata ganti “nya” menunjukkan bahwa ekosistem adalah milik tumbuhan dan satwa. Ekosistem mencakup tumbuhan dan satwa tetapi bukan milik tumbuhan dan satwa.
3. Definisi lengkap taman national (Categori II) IUCN: an area managed mainly for ecosystem protection and recreation: natural area of land and/or sea designated to (a) protect the ecological integrity of one or more ecosystems for present and future generations, (b) exclude exploitation or occupation inimical to the purposes of designation of the area, and (c) provide a foundation for spiritual, scientific, educational, recreational and visitor opportunities, all of which must be environmentally and culturally compatible.
[4] Sebenarnya, enam tahun sebelumnya, 1864, Presiden Abraham Lincoln menandatangani UU yang mengesahkan perlindungan terhadap Yossemite Valley, namun belum diberi nama taman nasional.
salam rimbawan…………….